Pengukuran titik tinggi pada
wilayah sabana di Cagar
Alam Pangandaran pada
dasarnya dilakukan menggunakan alat theodolit dan total station.
Pengukuran yang dilakukan dengan metode traverse
tertutup jenis poligon ini dilakukan dengan tiga
segmen
pada tiga hari yang berbeda. Total titik tinggi yang
didapatkan dari metode tersebut berjumlah lebih
dari 1000
titik
tinggi, sehingga hasilnya dapat membentuk Digital
Elevation Model (DEM) yang cukup baik. Algoritma
pembangunan DEM yang paling baik ditentukan berdasarkan
perhitungan residual eror
berdasarkan
titik tinggi has perekaman GPS Geodetik.
Data mentah titik tinggi hasil pengukuran yang didapatkan antara lain adalah data theodolit (manual), serta data total station dan GPS geodetik (digital). Ketiga
jenis data tersebut kemudian mendapat perlakuan yang berbeda dan memiliki kendala yang berbeda
pula. Data mentah tersebut masih perlu diproses lebih lanjut seperti kalkulasi, koreksi, dan konversi satuan atau datum agar ketiga data
tersebut dapat disatukan. Pemrosesan yang
cukup lama antara lain pada data theodolit, bahkan terdapat beberapa titik tinggi tidak
wajar, yang pada akhirnya dihapus
karena dapat merusak DEM.
Ketidakwajaraan titik ketinggian yang
telah dihapus untuk menghasilkan DEM terbaik
terjadi karena
kesalahan
pengukuran di
lapangan.
Kejadian tersebut
karena beberapa factor yaitu kesalahan kasar, kesalahan sistematk, dan kesalahan acak. Kesalahan kasar merupakan kesalahan oleh surveyor yang kurang
pengalaman, pengetahuan, dan kehati-hatian. Contoh kesalahan kasar seperti terlihat nilai 30 dm pada bak ukur, akan
tetapi pada
cek list
kolom tulis menggunakan
satuan millimeter tetap
ditulis 30 mm,
padahal yang benar adalah 3000 mm. Kesalahan sistematik terjadi disebabkan oleh alat ukur, seperti bak
ukur
yang
sulit ditarik
atau
dipanjangkan akibatnya bak
ukur
tidak tertarik total
padahal
sudah
terlihat angkanya. Sedangkan kesalahan acak terjadi karena
pengaruh alam seperti tanah yang
mudah amblas yang berakibat posisi alat tidak sesuai dengan patok dan terdapat hewan penganggu yang
menurunkan konsentrasi surveyor. Semua kesalahan tersebut terjadi di lapangan, akan tetapi terdapat kesalahan yang tidak bisa
dibiarkan karena berpengaruh sangat besar pada hasil pengolahan data. Oleh karena itu kesalahan tersebut
dikoreksi titik dengan cara dihapus.
Data
theodolite yang dicatat
secara manual masih perlu
diproses
menjadi
data digital. Jika dibandingkan dengan data
theodolit
dan GPS
Geodetik,
banyak
sekali kesalahan dan kendala yang
dapat terjadi pada pengukuran dengan theodolit misalnya
seperti kesalahan pembacaan alat dan kesalahan pencatatan. Sedangkan pada
total station dan GPS geodetik yang hasilnya berupa data digital, kesalahan dan kendala yang terjadi bersifat sistemik. Misalnya pada total station,
hasil pengunduhan data dari alat berbeda pada data
yang ditampilkan pada interface total station seperti 9124586.9728 menjadi 24586.9728 (dua digit pertama hilang).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, data GPS geodetik digunakan sebagaireferensi untuk menghitung residual
error hasil pengukuran theodolit dan total
station. Jumlah titik tinggi hasil perekaman
GPS
Geodetik berjumlah 34
titik sehingga secara statistik pun sudah cukup dapat dipertanggungjawabkan. Pemrosesan secara
signifikan yang
dilakukan terhadap data GPS Geodetik antara lain adalah konversi datum
dari ellipsoid menjadi geoid (EPG 2008).
Hal ini dilakukan agar
ketinggian
yang dihasilkan lebih representatif. Namun lebih baik lagi jika
ketinggian didefinsikan
berdasarkan mean sea level. Hasil titik tinggi dari konversi tersebut rata-rata
menjadi 20,6 meter lebih
rendah.
Pembangunan DEM dilakukan dengan lima macam metode interpolasi, antara lain Kriging Universal,
Kriging Ordinal,
Spline,
Natural
Neighbor, dan
IDW.
Sebuah interpolasi DEM dikatakan baik apabila secara visual paling
tidak terlihat masuk akal dan representatif. Secara visual, DEM yang
cukup baik secara visual antara lain adalah DEM
metode Kriging
Ordinal, Natural Neighbor, dan IDW. Ketiga DEM ini tidak menghasilkan
ketinggian yang pecah-pecah seperti DEM Kriging Universal meskipun DEM Kriging Universal tersebut masih cukup representatif. Sedangkan DEM Spline jika
dibandingkan dengan keadaan sebenarnya kurang
dapat dikatakan representatif, bahkan terdapat ketinggian yang cukup
ekstrim
dari kenyataannya.
Penilaian
DEM terbaik lebih lanjut dilakukan dengan
menghitung residual error
titik tinggi masing-masing hasil interpolasi dengan titik tinggi yang
direkam dengan GPS geodetik. Residual error merupakan rata-rata
selisih ketinggian antara
titik tinggi hasil interpolasi dengan titik tinggi hasil perekaman GPS Geodetik. Sehingga semakin kecil
residual eror, titik hasil interpolasinya semakin mendekati titik tinggi yang direkam GPS
Geodetik, atau dalam kata
lain titik tinggi hasil interpolasinya
baik. Residual error dari
masing-masing metode
secara berurutan yaitu Spline 2,36 meter, Kriging Universal 1,87
meter, Nearest Neighbor 1,84 meter, Kriging Ordinal 1,83 meter, dan yang terbaik IDW
yaitu
1,77
meter.
Residual error ini berarti rata-rata
perbedaan
titik
tinggi hasil
interpolation ID dengan GPS Geodetik hanya sebesar 1,77 meter dan paling
representatif
dibanding metode interpolasi yang lain.
Pembangunan
model DEM terbaik
dapat digunakan
untuk aplikasi lain,
misalnya penentuan titik tinggi yang paling baik
untuk
menempatkan menara
pandang. Pembangunan ini dapat digunakan
dengan menentukan titik
yang dapat
menjangkau daerah
paling luas, dan seberapa tinggi menara yang dibutuhkan untuk dapat melihat sebagian
besar atau seluruh bagian Cagar Alam
Pangandaran.
Penentuan titik pembangunan menara
menggunakan analisis visibilitas dengan data metode interpolasi terbaik. data tersebut dibangun menggunakan datum geoid yang relative
mendekati bentuk bumi. Titik ketinggian antara GPS yang
menggunakan datum ellipsoid
berbeda dengan ketinggian permukaan bumi hingga puluhan meter selisihnya. Oleh karena itu diperlukan konversi ke
datum geoid yang
lebih dekat
dengan permukaan
bumi.
Penetuan
datum
menjadi patokan kualitas
akurasi ketinggian data
GPS. Dalam menentukan titik yang
tepat untuk pembangunan menara diperlukan analisis visibilitas atau keterjangkauan
medan.
Menurut hasil analisis
visibilitas maka posisi
absolute penempatan menara adalah 241464,3808 mT dan 9146950,6849 mU dengan ketinggian 51
mdpl. Posisi penempatan menara
pada
posisi tersebut bukan hasil akhir
karena
hanya mempertimbangkan geometri
permukaan bumi, langkah lebih baik juga mempertimbangkan material seperti tanah yang
mudah amblas.Manfaat pembangunan menara digunakan untuk pemantauan kapal asing yang
masuk secara ilegal sekitar pantai pangandara yang sering terjadi beberapa tahun ini.
Selain itu dapat digunakan untuk pemantauan pariwisata di pantai Pangandaran untuk
keselamatan para wisatawan serta dapat
digunakan untuk kebencanaan
seperti tsunami.
Tim Terestris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar